Lebih Bagus Mana? Banyak Dialog atau Narasi Dalam Sebuah Cerita? Ini Jawabannya
Sedikit bercerita pengalaman singkat saya. Saat saya menjadi seorang proofreading saya menemukan tulisan yang banyak sekali penggunaan dialog ketimbang narasi. Iseng saya bertanya pada author-nya (penulisnya).
“Kak, kenapa naskahnya lebih banyak dialog?”
“Lebih bagus banyak dialog. Pembaca saya juga lebih suka baca yang banyak dialog,” ucap si author.
Setelah mendengar penjelasan author saya terkaget dan bingung hampir pada waktu yang sama. Bagaimana bisa ada yang suka dan mau membaca cerita yang didominasi oleh dialog?
Bukan apa, tetapi coba bayangkan saja dulu. Tentang cerita dengan dialog lebih banyak di dalamnya. Halleww, ini bukan naskah drama. Ini sebuah cerita. Sebuah karya yang menceritakan sesuatu atau menceritakan hal apa yang sedang dirasakan penulis dan isi pikiran penulis lewat sebuah cerita yang apik dan menyentuh. Apa yang dapat diceritakan lewat dialog?
Dialog dalam cerita memang salah satu hal penting. Gunanya sebagai pemanis, agar cerita entah novel, cerpen, fiksi kilat, anekdot, dan lainnya tidak terasa hambar. Aneh juga jika menemukan sebuah cerita tanpa dialog di dalamnya. Bagaimana kita bisa untuk ikut merasakan emosi pada tokoh yang ada di dalam cerita?
Dialog itu pemanis. Sekali lagi, hanya pemanis. Jangan sampai pemanis lebih banyak. Bisa tidak baik nantinya. Analoginya seperti ini, ada kopi dalam sebuah gelas. Kopi kita ibaratkan sebagai sebuah cerita. Untuk membuat kopi yang nyaman di lidah dan meninggalkan kesan positif di di lidah penikmatnya, maka dibutuhkanlah pemanis yang tak lain dan tak bukan adalah gula.
Gula kita ibaratkan sebagai dialog. Apa jadinya jika menyeduh segelas kopi dengan gula lebih banyak di dalamnya? Akankah ada yang mau menikmati kopi dengan rasa manis yang begitu tinggi? Begitu juga dengan sebuah cerita. Sulit menemukan orang yang memang betul-betul ingin menikmati cerita kita berulang-ulang tanpa rasa bosan jika masih lebih banyak dialog ketimbang narasi.
Jadi, bagaimana cara menakar atau adakah takaran yang sesuai, agar tidak menulis cerita dengan dialog yang mendominasi? Jawabannya tentu ada! Walau takaran ini tidak baku, tetapi bisa untuk dicoba.
Beberapa teman penulis, menyarankan untuk membagi dialog dan narasi dalam takaran yang pas. Sekurang-kurangnya 60% narasi dan 40% dialog. Angka ini, bisa saja berubah-ubah sesuai genre cerita. Namun, angka inilah yang bisa dikatakan dalam jumlah yang normal.
Untuk genre romantis, bisa menggunakan 80% narasi dan sisanya dialog. Genre komedi bisa menggunakan 60% narasi dan sisanya dialog. Sesuaikan saja dengan kebutuhan dan gaya menulis. Semua ini disertai dengan alasan. Romantis perlu adanya penggambaran yang kuat tentang suasana yang terjadi, agar pembaca bisa ikut merasakan cerita. Itulah mengapa presentase narasi lebih tinggi ketimbang dialog. Berbanding terbalik dengan komedi yang butuh lelucon mengagetkan yang tercipta dari dialog para tokoh yang ada dalam cerita.
Jadi, lebih bagus mana? Banyak dialog atau narasi? Tentu lebih bagus banyak narasi. Namun, tetap saja. Jangan sampai satu cerita full menggunakan narasi. Nantinya pembaca bosan. Sisipkan dialog di tempat yang tepat dan usahakan seefektif mungkin. Sepandai-pandai penulis saja untuk mengatur dialog, agar tetap berada pada batasan-batasannya.
Ada yang tidak terima? Jika iya, silakan kita berdiskusi santai di kolom komentar. Tidak ada yang melarang.

Posting Komentar untuk "Lebih Bagus Mana? Banyak Dialog atau Narasi Dalam Sebuah Cerita? Ini Jawabannya"